Meningkatnya stres, kecemasan, ketakutan akan kegagalan, dan tekanan untuk memenuhi harapan yang tinggi—terutama di tempat kerja, yang umumnya disebut sebagai “budaya bekerja keras”—disertai dengan pola makan yang buruk dan kurangnya olahraga, dapat menjadi kombinasi ampuh yang memicu timbulnya penyakit Alzheimer, para ahli memperingatkan pada hari Sabtu.
Hari Alzheimer Sedunia, yang diperingati setiap tahun pada tanggal 21 September, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang gangguan neurologis yang melemahkan ini. Tahun ini, temanya adalah “Saatnya Bertindak Melawan Demensia, Saatnya Bertindak Melawan Alzheimer,” yang mendorong orang untuk mengenali dan mengurangi faktor risiko yang terkait dengan kondisi ini.
Dr. Ishu Goyal, Wakil Konsultan Neurologis di Rumah Sakit Sir HN Reliance Foundation, menekankan bahwa tekanan budaya kerja keras yang tiada henti telah mendorong banyak orang untuk memperpanjang jam kerja, mengorbankan waktu tidur, dan menerapkan gaya hidup yang tidak sehat. “Stres, kecemasan, dan ketakutan yang terus-menerus akan target yang terlewat telah memaksa individu untuk bekerja lebih lama, mengurangi waktu tidur yang penting, aktivitas fisik, dan nutrisi yang seimbang. Semua faktor ini berkontribusi terhadap pengendapan protein abnormal di otak, yang menyebabkan degradasinya,” jelas Dr. Goyal.
Protein abnormal ini, yang terkait dengan Alzheimer, biasanya dibersihkan dari otak saat tidur, suatu proses yang didukung oleh pola makan sehat yang kaya antioksidan. Akan tetapi, budaya kerja keras mengganggu mekanisme pemulihan alami ini dengan tidak memberikan tubuh waktu istirahat yang cukup dan nutrisi yang tepat.
Dr. Goyal juga menyoroti peningkatan risiko bagi mereka yang secara genetik rentan terhadap Alzheimer. “Individu dengan mutasi genetik yang membuat mereka rentan terhadap demensia dapat menghadapi masalah kognitif lebih awal jika mereka mengikuti gaya hidup ini, mengabaikan kesehatan mental dan fisik mereka,” katanya.
Untuk mengurangi risiko ini, para ahli menyarankan untuk melakukan perubahan gaya hidup yang mengutamakan kesehatan fisik dan mental. Dr. Goyal menyarankan untuk menyediakan waktu istirahat rutin selama bekerja, menerapkan teknik relaksasi, menjaga pola makan seimbang, dan memastikan tidur yang cukup untuk membantu otak menjaga keseimbangan biokimia dan mencegah timbulnya Alzheimer.
Alzheimer adalah gangguan neurodegeneratif yang awalnya muncul sebagai masalah kognitif ringan, seperti kehilangan ingatan jangka pendek, tetapi makin memburuk, yang menyebabkan penurunan kognitif parah dan hilangnya kemandirian. Gangguan ini memengaruhi jutaan orang di seluruh dunia, dengan perkiraan 5 juta orang di India hidup dengan demensia, 60-70% di antaranya menderita penyakit Alzheimer. Secara global, lebih dari 55 juta orang menderita kondisi ini, jumlah yang diproyeksikan akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050 jika tren saat ini terus berlanjut.
Dr. Praveen Gupta, Direktur Utama dan Kepala Neurologi di Rumah Sakit Fortis, menekankan bahwa Alzheimer bukan sekadar kondisi kehilangan ingatan. “Alzheimer melibatkan penurunan fungsi otak secara menyeluruh, termasuk berpikir, bernalar, berperilaku, dan emosi. Ini adalah penyakit yang progresif dan tidak dapat disembuhkan,” ungkapnya.
Para ahli juga menyerukan tindakan proaktif untuk mencegah penyakit Alzheimer. Dr. Hema Krishna P, Konsultan Neurologi dan Gangguan Pergerakan di Rumah Sakit Aster CMI di Bangalore, menganjurkan olahraga teratur, pola makan seimbang dan bergizi, serta partisipasi dalam aktivitas kognitif untuk merangsang fungsi otak.
“Menjaga kesehatan kardiovaskular sangatlah penting,” imbuh Dr. Krishna. “Mengendalikan tekanan darah, kadar kolesterol, dan diabetes secara signifikan mengurangi risiko timbulnya penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer.”
Karena Alzheimer terutama menyerang orang dewasa yang lebih tua, dengan risiko meningkat secara signifikan setelah usia 65 tahun, menerapkan strategi pencegahan ini sejak dini dapat memainkan peran penting dalam mengurangi kemungkinan terserang penyakit ini di kemudian hari.